13 Juli 2008

Inu Kencana Syafiie

Kesaksian Nurani Guru Pamong

Inu Kencana Syafiie, Lektor Kepala IPDN (Institut Pemerintahan dalam Negeri), menyuarakan kesaksian yang didorong suara nurani seorang guru pamong untuk mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis. Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, itu berani mengambil risiko mengungkap kekerasan yang terjadi di kampus pencetak calon pamong praja itu. Inu, sosok yang memilih hidup dalam kebersahajaan.

Ini Kencana, pria kelahiran Payakumbuh, 14 Juni 1952, itu mengungkap kekerasan di IPDN yang menewaskan praja asal Manado, Cliff Muntu. Demi kebenaran, Inu tidak hanya menanggung risiko kehilangan pekerjaan, bahkan juga ancaman nyawa dan keluarganya. Hal yang juga dilakoninya ketika mengungkap kematian praja Wahyu Hidayat 2003 lalu.

Kala itu (2003) ia menerima layanan pesan singkat (short message service) yang berisi ancaman pembunuhan. Ancaman itu sempat ditelusuri Mabes Polri. Kemudian, ketika ia mengungkap kematian Cliff Muntu (2007), Inu diberi sanksi larangan mengajar sementara dan diperiksa tim investigasi Depdagri (8/4/2007). Intimidasi lewat SMS diterimanya, antara lain berbunyi: "Guruku sayang, kenapa kau tega memfitnah kami?"

bahkan ada 5 April 2007, ia sempat diusir dari ruang kuliah oleh teman sesama pengajar saat hendak mengajar mata kuliah Ilmu Pemerintahan. bahkan Depdagri dan rektorat pun mengeluarkan surat berhenti mengajar sementara untuknya.

Dosen Senior IPDN itu tetap bersikukuh membeberkan berbagai perlaku menyimpang di lingkungan IPDN ke publik, setelah kematian Cliff Muntu,20,madya praja asal Sulut, yang semula disebut pihak atasan di IPDN akibat penyakit lever.

Inu dengan amat terbuka dan blak-blakan selalu meladeni wawancara dengan wartawan dari berbagai media. Ponselnya berbunyi hampir setiap saat. Seakan tak kenal rasa takut dalam membeberkan kasus kekerasan dalam IPDN, Inu membeberkan satu per satu "ketidakwajaran" di kampus itu pada publik. Sorotan dan perhatian media menjadi salah satu modalnya untuk menentang arus "mayoritas tak bersuara" di kampus itu.

Bagi Inu: "Media adalah penyambung demokrasi bagi masyarakat. Biar masyarakat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di IPDN. Tidak ada lagi takut jika masyarakat mendukung. Kasus ini harus dituntaskan sekarang atau tidak sama sekali. Ini jika kita ingin ada perubahan."

Inu sangat terbuka meladeni wartawan, kendati harus menjadi warga komuter, bolak- balik Jakarta-Sumedang utnuk melayani berbagai stasiun televisi. Di antaranya, ia tak takut bicara dalam acara Kupas Tuntas yang ditayangkan TransTV. Inu juga dengan senang hati datang ke Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, untuk memenuhi panggilan wakil rakyat yang ingin mendalami kasus kekerasan di IPDN.

Disertasi
Keseriusannya untuk menjadikan IPDN lebih humanis terlihat juga dari judul disertasinyanya : "Pengawasan Kinerja STPDN terhadap Masyarakat Kabupaten Sumedang". Dalam disertasi itu, disebutkan setidaknya 35 praja tewas akibat penganiaayaan selama tahun 1990-2005. Ini juga mengungkap dugaan fenomena seks bebas, penggunaan narkoba dan aborsi di lingkungan asrama IPDN. Disertasi dilengkapi data dan foto-foto mengenai kondisi IPDN, di antaranya data kasus kekerasan dan arogansi praja IPDN serta foto-foto penyiksaan sejumlah praja oleh para senior.

Menurut Indah Prasetyati, 45, istri Inu: ”Sekarang ini bapak sibuk sekali sampai tidak ada waktu istirahat. Tapi, saya sudah biasa. Dari dulu bapak memang berusaha menyuarakan kebenaran. Sekarang, ancaman pun sudah tidak saya gubris, sudah imun. Kalau dulu, waktu bapak mengungkap kasus kematian Wahyu Hidayat, saya masih takut dan khawatir.”

Indah mendukung apa pa yang dilakukan suaminya. Bahkan ketiga anak mereka (Raka, Nagara, dan Feriska) juga ikut mendukung. Bagi ketiga anak itu, Inu adalah figur ayah yang jujur dan tidak mau menutup-nutupi kesalahan. ”Selama bapak melakukan hal yang benar, anak-anak mendukungnya,” kata perempuan yang dinikahi Inu pada 1984 ini.

Inu, alumnus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Cilandak, Jakarta, itu dengan tenang menangggapi larangan mengajar yang dijatuhkan padanya. Ia malah tidak menganggapnya sebagai sanksi atau skorsing. Menurut Inu, keputusan tersebut diambil agar dia bisa mendampingi tim investigasi bekerja membongkar kematian Cliff Muntu. ”Jadi saya masih belum tahu apakah keputusan itu merupakan sanksi. Sekarang kan saya diminta mendampingi tim investigasi,”kata Inu.

Inu juga tidak terlalu berpikir akan berkiprah di mana kalau dirinya dilarang mengajar di IPDN. Tekadnya hanya satu agar jangan sampai IPDN dibubarkan. Namun, sistem pendidikannya yang harus dirombak total. Bagi Inu, mengungkap kebenaran suatu keharusan, meski nyawa taruhannya.

Inu sadar sikapnya itu bukan tanpa risiko. Ancaman via SMS dan telepon pun kerap diterimanya. Untuk mengantisipasi keadaan yang tak diinginkan dua personel kepolisian berpakaian preman ditugaskan menjaga rumahnya. ’’Saya tidak pernah meminta pengawalan. Tapi, polisi sendiri yang mengirimkan pengawal ke rumah saya,”katanya.

Inu, yang berusaha mengungkap kebenaran dengan mengedepankan suara nuraninya sebagai guru pamong praja, menyikapi ancaman itu dengan bijaksana. Penulis buku 4 2 judul buku dan kar ya tulis, di antaranya "Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an" itu tak gentar karena ia yakin atas niat baiknya untuk mengubah pola pendidikan di IPDN agar lebih humanis.

"Sesakit apa pun, sekalipun diinjak dan ditindas, insan manusia semestinya tetap menyuarakan kebenaran. Inilah yang berkali-kali coba saya sampaikan lewat kuliah filsafat kepada mahasiswa IPDN. Nyatanya, mereka memang tidak pernah mau memahami," ungkap pria yang suka berdakwah di masjid ini sebagaimana dirilis Kompas 12/4/2007.

Semula, Inu tidak percaya di kampus pencetak pamong itu berlangsung kekerasan. "Dia itu sebelumnya enggak pernah percaya kalau ada kekerasan di IPDN," papar istrinya, Indah Prasetyati. "Saat anak teman saya dipukuli sampai babak belur dan lari, ia malah menyuruhnya kembali ke barak. Barulah saat muncul kasus praja putri yang sampai tidak sadar, lalu memilih keluar dan bekerja di bengkel, dia mulai curiga. Kasusnya kok bertubi? Ini ditambah laporan tentang dugaan penganiayaan Wahyu. Dari sini dia mulai percaya."

Mendalami Filsafat dan Agama
Lulusan Program Magister Administrasi Publik Universitas Gajah Mada (lulus 1990), itu sudah ditinggal ibunya (meninggal) semasih duduk di SMA. Akibat kematian ibunya, Ini sempat bertanya dan menyalahkan Tuhan. "Mengapa Dia tega mengambil orang yang saya kasihi?" gumamnya. Akibatnya, Inu sempat ’lari’ dari Tuhan, meski tak berlangsung lama. Lalu ia sadar, ternyata bersahabat dengan Tuhan itu menyenangkan.

Kemudian dalam pergumulannya, Inu banyak mempelajari ilmu filsafat dan keagamaan. Ketertarikan pada dua bidang ini kemudian dituangkannya dalam ide-ide penulisan. Inu telah menulis 42 judul buku dan karya tulis, di antaranya berjudul: Filsafat Kehidupan, Filsafat Pemerintahan, serta Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an.

Berbekal pendalaman filsafat dan keagamaan itu, Inu dan keluarganya hingga kini memilih hidup dalam kebersahajaan. Ia bersama istri dan tiga anaknya tinggal di rumah dinas yang sebetulnya merupakan jatah untuk dosen golongan II, bukan golongan IV seperti dirinya. Bepergian ke mana- mana pun dia kerap menggunakan angkutan umum. Baginya, kesederhanaan adalah sebuah pilihan hidup.

DPR Protes
Dalam suara kebenaran dalam kesendiriannya di kampus IPDN, Inu boleh terhibur, karena di luar kampus ia mendapat dukungan luas. Berbagai elemen mahasiswa juga bernjuk rasa menuntut kekerasan di IPDN dihentikan. Bahkan DPR pun ikut memprotes keras sanksi terhadapnya, karena keterbukaannya membuka kasus-kasus kekerasan mahasiswa di IPDN.

Ketua FPDIP Tjahyo Kumolo kepada wartawan di Gedung DPR/MPR, menyatakan, sanksi yang dijatuhkan kepada Inu Kencana Syafiie dengan memberhentikannya dari kegiatan mengajar sekaligus sebagai PNS itu sangat berlebihan dan reaksioner.

Sebagai dosen, terang dia, seharusnya Rektor IPDN dan Depdagri berterima kasih dan memberikan penghargaan, sehingga kekerasan itu bisa terbuka kepada masyarakat.

“Kekerasan yang terjadi di kampus IPDN akan sangat sulit dihilangkan jika sistem secara keseluruhan tidak diperbaiki. Karena itu agar tujuan pendidikan IPDN yang bertujuan menyiapkan pamong-pamong yang profesional dan bertanggungjawab itu terpenuhi, seharusnya Depdagri berani mengambil langkah revolusioner dengan mengganti semua pimpinan, pengajar, dan staf administrasi di IPDN, ” kata Tjahyo.

Menurutnya, IPDN perlu menghentikan penerimaan mahasiswa baru dan meleburkan mahasiswa lama dengan universitas lain, karena mahasiswa IPDN yang ada sekarang sudah terkontaminasi perilaku kriminal yang dilaklukan oleh senior-senior sebelumnya. Setelah itu, baru kembali ke sistem, kurikulum, dan metode pembinaan pengajaran yang sesuai dengan asas pendidikan.

“Jadi, semua harus baru. Baik dari pimpinanya maupun kurikulum dan sistemnya, " usul dia.

Yang pasti dengan kasus kekerasan tersebut DPR akan mengevaluasi seluruh pendidikan kedinasan yang berada di bawah departemen. Supaya kekerasan ala militer itu tidak berpengaruh terhadap pendidikan tinggi yang lain, sebaiknya dari sekarang IPDN stop menerima mahasiswa baru. Sedangkan mahasiswa yang sudah ada dilanjutkanya dan jika IPDN harus ditutup, mahasiswanya dilebur ke universitas yang lain.

Anggota dewan lainnya, Wakil Ketua Komisi X DPR Prof. Dr. Anwar Arifin mengatakan, IPDN harus berhenti menerima mahasiswa baru dan kasus matinya mahasiswa Cliff Muntu harus dijadikan pelajaran dan evaluasi bagi sistem pendidikan yang sesuai dengan UU Sisdiknas.

“Yang jelas seluruh pendidikan kedinasan di bawah departemen, selain pendidikan tentara dan polisi, harus dikembalikan ke Depdiknas, yaitu dengan memasukkan calon-calon birokrat tersebut ke universitas-universitas umum, ” tutur Anwar.

Dijelaskannya, selama ini IPDN tidak tersentuh dengan disiplin ilmu yang lain sehingga mengakibatkan mereka menjadi arogan dan terbiasa dengan kekerasan fisik yang tidak manusiawi.

"Depdiknas bersama Komisi X DPR selama ini sudah membahas sekolah kedinasan yang ada dan hasilnya mengarah ke 3 opsi. Yaitu diintegrasikan dengan universitas negeri, berubah menjadi swasta, atau dibubarkan. ”

Meski ketiga opsi tersebut belum diputuskan, namun DPR dan Depdiknas cenderung memilih opsi yang pertama, yaitu dilebur atau diintegrasikan ke universitas negeri yang ada. ►e-ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

2 komentar:

Muhammad Resky mengatakan...

bapak DR Inu Kencana Sjafei saya adalah pengagum bapak karena jarang orang yang berani menegakkan kebenaran karena takut kehilangan jabatan, pangkat dan pekerjaan. bapak adalah dosen yang "Ilmu Oriented" bukan gelar oriented. Sekarang banyak dosen2 yang punya gelar Master dan doktor tapi tidak berkualitas karena mereka hanya cari jabatan, honor apalagi PNS yang karis tidak sukses di pemerintahan cari jabatan di PTS bapak dapat gelar doktor pada usia 58 tahun dan sudah menulis 67 buah buku selamat pak saya selalu mendoakan bapak sukses

Muhammad Resky mengatakan...

Bapak DR Inu Kencana Sjafei merupakan satu dari lima dosen yang saya kagumi. yang lain ialah Alm DR Mansur Semma dari UNHAS, Alm Prof DR A Rahman Zainuddin dari UI,dosen saya sendiri, Prof DR Sutandyo dari UNAIR dan Prof DR Abdurahman Sumihardjo dari UGM karena mereka merupakan orang-orang yang jujur, berkualitas dan hidup sederhana