Ada cara ”mudah” mendeteksi seseorang menderita penyakit demam berdarah atau tidak, yakni dengan melihat perubahan darah. Jika sel darah limfosit warna biru seseorang mencapai 4 persen, berarti sudah merupakan indikasi bahwa yang bersangkutan menderita penyakit tersebut.
Hal itu ditegaskan berulang-ulang oleh Prof Sutaryo (57) dalam perbincangan di Yogyakarta pada pertengahan Januari 2006. Sutaryo—kini Ketua Komite Medis Rumah Sakit (RS) Sardjito, Yogyakarta, serta staf pengajar Fakultas Kedokteran UGM—menekuni penyakit demam berdarah (DB) sejak tahun 1970-an atau tiga tahun sebelum lulus sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran UGM.
Menurut Sutaryo, diagnosis DB bagi dokter pada demam hari pertama sampai hari keempat sangat sulit karena penyakit yang disebabkan oleh virus, misalnya flu tulang atau influenza, gejalanya mirip satu sama lain.
”Nah, apa ada cara pemeriksaan sederhana sekaligus murah serta dapat dilakukan di puskesmas dan hari itu juga selesai?” katanya.
Dari pengalaman menangani DB itulah lalu muncul ide melakukan pemeriksaan limfosit warna biru dan berhasil sehingga mengantarkannya meraih gelar doktor dari UGM dengan disertasi berjudul Limfosit Plasma Biru (Arti Diagnostik dan Sifat Imunologik pada Infeksi Dengue). Sel darah limfosit warna biru yang juga dikenal dengan nama limfosit plasma biru (LPB) pernah diumumkan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke-4 di Yogyakarta tahun 1978.
Menyusul penemuan Sutaryo, di setiap blangko pemeriksaan laboratorium untuk penderita DB kini dimasukkan kolom-kolom pemeriksaan LPB. Ini tentu saja lebih mempermudah dokter menangani pasien DB. Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1986 mengeluarkan kriteria, tetapi ternyata tidak bisa difungsikan untuk diagnosis dini.
Untuk menyusun disertasinya pada tahun 1991, Sutaryo mengambil sampel 433 anak sehat, kemudian didapat angka rata-rata LPB 0,9 persen. Di daerah penelitian dijumpai pula anak yang telah mendapat zat antiterhadap infeksi dengue sebanyak 74 persen.
Batas LPB yang ditolerir adalah 4 persen, katanya, dapat dipilah antara penderita dan yang bukan penderita dengue. ”Ini sangat menolong penegakan diagnosis di daerah, mengingat LPB tidak dipengaruhi status gizi yang baik atau buruk, demikian pula pemberian obat-obatan sebelum dirawat di rumah sakit,” tutur dokter yang mendapat pangkat profesor pertengahan tahun lalu.
Penyakit DB, kata Sutaryo, sudah tersebar luas di dunia, di mana infeksi oleh virus dengue merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian, terutama pada anak di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia, dengue ringan muncul tahun 1799, sedangkan bentuk penyakit berat baru tampak pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta. Setelah itu, menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Letusan besar penyakit ini terjadi tahun 1988 dengan jumlah kasus 47.573 dan jumlah penderita yang meninggal sebanyak 1.527 orang.
”Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia tidak habis DB-nya. Antara lain dokter tidak disiplin memonitor pasien,” katanya lagi.
Ia menambahkan, RS Sardjito/FK UGM sudah melakukan penelitian dan mempunyai tata cara pengelolaan DB yang sederhana, yakni dengan monitor DB gaya Yogyakarta. Apa itu gaya Yogyakarta? ”Kombinasi pemeriksaan setiap enam jam plus laboratorium sederhana, cukup untuk merawat penderita DB. Murah tur slamet, tak perlu ICU (intensive care unit),” kata Sutaryo.
Petani
Dilahirkan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta, Sutaryo kecil memperoleh didikan ayah (Sastrodibroto, pegawai sosial di kantor desa) dan ibunya (dipanggil Simbok) dalam suasana keprihatinan. ”Simbok saya itu buta huruf, lho. Tetapi, mata batinnya sejuk dan pandangannya jauh ke depan,” tuturnya.
Seluruh anak keluarga Sastrodibroto (11 orang, Sutaryo nomor tujuh) adalah lulusan UGM. Demikian diungkapkan oleh Yupratomo Dwi Putranto, salah satu keponakannya yang kini tinggal di Jakarta.
”Ayah memberi olah batin yang kuat. Simbok memberi semangat ketekunan. Kami memang dari keluarga petani desa...,” ujar Sutaryo. Latar belakang ini membuat ia senang berkebun, di sela-sela memberi kuliah dan praktik swasta di depan kawasan Ambarrukmo, Yogyakarta
Suami Iskatarismiyanti dan bapak satu anak (Agustina Istaryanti) itu semasa kuliah sempat menjadi pemandu wisata, kemudian bermain drama yang berlanjut ke ketoprak. Juga menjadi wartawan, penulis kolom semasa koasisten di bagian bedah, serta mengisi rubrik tetap di sebuah radio swasta. Di samping itu, Sutaryo aktif pula di bidang olahraga—pencak silat, voli, dan sepak bola—serta menari klasik dan paduan suara.
”Kesenangan menulis menjadikan saya ikut melahirkan beberapa majalah dan sempat menjadi redaksi, antara lain, di Berita Kedokteran Masyarakat, Berita Efkagama, dan Farmacia,” katanya. Buku yang ia tulis pun cukup banyak. Terakhir di bawah judul Dengue terbitan Medika FK-UGM. Ia juga menulis buku praktis Mengenal Demam Berdarah. Buku ini merupakan rangkuman pengalaman menangani DB.
”Penjelasan untuk keluarga harus lain dengan penjelasan untuk tenaga profesional sehingga istilah medis yang sukar diupayakan dihindari,” tutur Sutaryo. Karena jiwa sosialnya tinggi, ia sering menggratiskan biaya bagi pasien. ”Yang penting mereka sembuh lahir-batin....” (Djoko Poernomo, Kompas, 27 Januari 2006) ►e-ti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar